Nilai Sebutir Nasi

Posted: 25 July 2009 in Wisdom

Ada seorang teman yang berasal dari keluarga yang sangat kaya raya, sebut saja si Pangeran. Anak ini sangat dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Dulu, dia tumbuh sebagai remaja yang urakan, tidak tahu sopan santun, dan tidak menghargai orang lain. Ia bahkan suka melecehkan para pengasuhnya. Karena itu, ia dibenci dan dihindari oleh para pengasuhnya maupun para pegawai tokonya.

Walau dibenci dan dijauhi, dia masih punya satu-satunya sahabat seusianya yang tetap setia padanya, yaitu bocah laki-laki anak dari tukang masak keluarganya. Si bocah tinggal mes di belakang rumahnya. Karena dilarang menginjakan kakinya ke dalam rumahnya, maka sang Pangeran yang biasanya datang bermain ke mes. Suatu hari, Pangeran meminta si bocah untuk menemaninya  makan siang dirumahnya yang megah bak istana. Bukan menemani makan, tetapi berdiri manis menunggui sambil melihat si Pangeran makan. Sesaat sebelum makan, Pangeran terlihat menundukkan kepala sambil mulutnya berkomat-kamit seolah sedang berdoa.

Sejenak kemudian, Pangeran mulai melahap hidangan yang tersaji di meja makan. Semua jenis makanan hidangan yang tersaji di meja makan. Semua jenis makanan yang enak-enak dan mahal dicicipi. Pangeran bersantap sambil bertingkah seperti orang yang sedang kelaparan dan ingin menghabiskan semua makanan di atas meja. Kadang ia hanya mencuil dan menggigit makanannya, lalu memuntahkan dan membuang sisanya di atas meja. Meja makan jadi berantakan dan sisa-sisa makanan berserakan dimana-mana. Pangeran seperti sedang mengolok-olok sahabatnya yang hanya berdiri memandanginya. Tapi bukannya dia merasa dihina, si bocah itu malah tersenyum-senyum sedari tadi. Pangeran pun jadi tersinggung dan marah melihat kelakuan sahabatnya.

“Hai… apa yang kamu tertawakan? Beraninya kamu tertawa seperti itu dihadapanku? Kamu iri melihat aku makan enak?” teriak Pangeran.

“Tidak, tidak apa-apa…”, jawab si bocah.

“Kalau tidak apa-apa, mengapa kamu tertawa? Apanya yang lucu? Tanya si Pangeran sengit.

“Kamu jangan cepat marah. Saya senang dan tidak menyangka sama sekali bahwa orang “Pangeran” pun ternyata berdoa sebelum makan. Apa yang tadi kamu ucapkan dalam doa tadi?”, tanya si bocah.

“Walaupun aku adalah orang kaya, aku juga orang beragama. Diagamaku sejak kecil diajarkan, supaya setiap hendak makan mengucapkan doa terima kasih kepada Tuhan atas pemberian makanan yang dihidangkan untukku”, jelas si Pangeran dengan bangga.

Si bocah tetap saja tersenyum-senyum. Tapi kali ini ia berani berkata, “Menurut pendapat saya, rasa syukur dna terima kasih akan lebih berarti bila ditunjukan juga kepada orang-orang yang telah menyediakan semua bahan makanan, dan memasak hingga tersaji hidangan di meja ini”, kata si bocah. “Lihatlah sisa makanan yang berceceran di piring dan meja itu. Perlu berapa orang untuk membuat itu semua?”

“Apa maksud kata-katamu itu? Aku punya segalanya dan boleh berbuat apa saja sesuai kehendakku..” kilah si Pangeran. Si bocah tiba-tiba menarik tangan Pangeran dan mengajaknya ke dapur belakang. Ia bawa Pangeran menyaksikan bagaimana tukang masak dan para pekerja dapur begitu sibuk menyiapkan makanan serta membuat berbagai macam masakan.

Saat mereka berkeliling, dari pintu belakang tampak seorang kuli petani sedang membawa sekarung beras sebagai hantaran wajib ke rumah. Pangeran menyapa si petani bak seorang raja yang berkuasa “Hai.. Pak.. Terima kasih atas persembahanmu. Bagaimana panen padi kali ini?” tanya si Pangeran berlagak bijak.

“Panen kali ini buruk sekali”, jawab si petani. “Sudah tiga bulan kami bekerja keras, dari membajak, menanam, mangariri sawah sampai memupuk tanaman, tapi hasilnya sia-sia. Sawah ladang dihancurkan tikus dan hama wereng. Jadi, maafkan saya karena hanya ini yang mampu saya berikan. Kami pun belum tau bagaimana memberi makan anak istri kami”, ujarnya sambil menghela napas panjang.

Mendengar jawaban itu, Pangeran tersentak dan baru tersadar. Ternyata tetangganya sangat menderita dan terancam kelaparan. Sementara dirinya malah menyi-nyiakan dan membuang-buang makanan yang begitu sangat berharga. Pangeran kemudian lari meninggalkan tempat itu karena merasa malu pada diri sendiri. Sejak peristiwa itu, tingkah lakunya berubah total. Ia sekarang menjadi anak yang sopan dan mau menghargai orang lain. Setiap kali makan, ia selalu mengingatkan dirinya sendiri, “Jangan sisakan sebutir nasi di piringmu..!”

Sahabatku,

Sejak kecil kita telah dididik untuk selalu berdoa mengucap syukur atas semua berkat yang diberikan Tuhan kepada kita. Mengucap syukur bukan sekedar berdoa, bukan pula sekedar melaksanakan formalitas ritual beragama. Tetapi lebih dari itu, rasa syukur harus disertai dengan sikap menghargai dan menghormati orang lain dalam kehidupan sehari-hari.

Sebelum butiran nasi yang kita makan sehari-hari memuaskan dan mengenyangkan perut kita, betapa banyak kerja dan kegiatan yang mendahuluinya. Bila kita bisa menghargai arti sebutir nasi serta orang-orang yang menghasilkannya, maka dasar pengertian dan kebijaksanaan itu akan melahirkan sikap mental positif dalam kehidupan kita.

Doa dan syukur harus didasarkan pada perbuatan nyata dan pengertian yang benat mengenai apa yang kita lakukan. Jika setiap doa disertai dengan pengertian kebijakan untuk menghargai segala usaha dan jerih payah orang lain, serta tidak menyia-nyaikan berkat yang sedang kita nikmati, niscaya kita kelak akan tumbuh menjadi orang-orang yang berbudi luhur pekertinya. Sekali lagi ingat, ketika kita makan “Jangan sisakan sebutir nasi di piringmu”.

Sumber: Andrie Wongso

Leave a comment